Sabtu, 24 November 2012

Daftar Saham Bluechip Pilihan


Daftar Saham Bluechip Pilihan

Secara definisi, saham blue chip (penulis lebih suka menyebutnya bluchip), adalah saham yang mewakili perusahaan dengan ciri-ciri sebagai berikut, 1. Perusahaannya besar, 2. Memiliki reputasi dan dikenal baik oleh masyarakat minimal di tingkat nasional, 3. Memiliki kinerja/fundamental yang bagus, 4. Biasanya merupakan pemimpin di industri/sektornya masing-masing, serta 5. Sahamnya likuid. Disebut ‘blue’ atau ‘berwarna biru’, karena saham bluchip secara umum dianggap lebih valuable dibanding saham biasa, dimana warna biru menunjukkan kelas aristokrat atau bangsawan (darah biru).

Di BEI, beberapa investor terkadang mendeskripsikan saham-saham bluchip ini sebagai saham yang terdaftar di Indeks LQ45. Anggapan ini tidak keliru, karena sebagian besar saham LQ45 memang merupakan bluchip, namun tidak semua saham LQ45 adalah bluchip. Sebab kriteria pemilihan saham LQ45 bukanlah berdasarkan kriteria saham bluchip diatas, melainkan lebih hanya berdasarkan likuiditas sahamnya di market. Yup, bisa dikatakan bahwa ke-45 saham yang masuk daftar LQ45 adalah saham-saham yang paling likuid di market, dan paling memberikan pengaruh terhadap pergerakan IHSG. Jadi jika sebuah saham tidak memenuhi kelima kriteria saham bluchip diatas, namun saham tersebut termasuk sangat likuid, maka dia bisa saja masuk ke dalam daftar LQ45.

Di Amerika sana, saham-saham bluchip yang memang memenuhi kriteria untuk bisa disebut sebagai ‘blue chip’, diseleksi dengan ketat dan dimasukkan ke dalam satu indeks khusus, yang kita kenal dengan nama Dow Jones Industrial Average (DJIA). Sejak DJIA pertama kali diperkenalkan kepada dunia pada tahun 1896 (sudah lama sekali), Dow Jones kemudian berkembang hingga akhirnya menjadi patokan bagi seluruh investor saham di seluruh dunia. Pergerakan indeks DJIA merupakan cerminan dari pergerakan ke-30 saham-saham top di Amerika, dimana ketiga puluh saham tersebut juga merupakan saham-saham top di dunia, sehingga akhirnya pergerakan DJIA, meski tidak secara keseluruhan, dianggap sebagai representatif dari pergerakan bursa-bursa saham secara global.

Di Indonesia sendiri, hingga kini belum ada satu indeks ataupun alat lainnya yang secara tegas membedakan saham mana yang merupakan bluchip, dan mana yang bukan. Alhasil sebuah saham bisa saja dianggap sebagai bluchip oleh seorang investor, tapi dianggap bukan bluchip oleh investor lainnya. Beberapa perusahaan (terutama perusahan media) memang memiliki indeks mereka sendiri, yang kemudian dijadikan patokan oleh investor untuk menentukan saham-saham mana yang tergolong bluchip. Sebut saja Bisnis27, atau Kompas100. Tapi para perusahaan media inipun tidak pernah secara tegas mengatakan bahwa saham-saham yang masuk ke dalam indeks saham mereka, adalah bluchip.

Mungkin, tidak adanya ‘kotak’ yang secara tegas memisahkan saham bluchip dan bukan, adalah karena memang tidak ada kriteria yang tegas dari saham bluchip itu sendiri. Karena itulah, disini penulis akan mencoba mempertegas kelima kriteria saham bluchip diatas. Namun sebelumnya perlu dicatat bahwa kriteria ini adalah berdasarkan perspektif penulis sendiri sebagai seorang praktisi, sehingga anda pun tentunya boleh saja memiliki kriteria yang berbeda. Okay, berikut kriterianya:

1. Perusahaannya berukuran besar. ‘Besar’ disini bisa dilihat dari tiga ukuran, yaitu market cap, aset, dan equity/modal. Mengingat bahwa market cap hanyalah cerminan dari harga saham perusahaan secara retail di market, dan aset yang besar belum tentu berisikan modal bersih (bisa jadi isinya utang melulu), maka ukuran yang paling bisa dijadikan patokan adalah modal alias equity, alias net asset, kemudian baru aset, dan terakhir market cap.

2. Memiliki reputasi dan dikenal baik oleh masyarakat. Sebuah perusahaan tentunya akan memiliki reputasi yang baik jika perusahaan tersebut memberikan manfaat yang real bagi kehidupan masyarakat banyak. Contohnya Indofood (INDF), saham yang satu ini bisa dipertimbangkan sebagai bluchip karena produk andalannya yaitu Indomie, telah memberikan banyak manfaat bagi banyak orang, mulai dari pengusaha supermarket, pemilik toko kelontong, pemilik warung indomi rebus, dan anak kost yang terpaksa makan indomi karena kehabisan uang bulanan sebelum waktunya (ini dulu penulis banget nih, hehe). Sementara soal dikenal oleh masyarakat, maka tentunya semua orang sudah cukup hafal dengan nama Indofood.

3. Memiliki kinerja dan fundamental yang bagus. Nah bisa jadi kriteria yang satu ini yang kemudian menjadi sulit untuk diperhatikan, sebab ada banyak faktor yang harus diperhatikan dan dinilai untuk kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa sebuah saham memiliki fundamental yang bagus. Tapi untuk lebih simpelnya, terdapat dua ukuran penting dalam analisis fundamental yang mutlak harus diperhatikan, yaitu A. ROE-nya besar, dan B. Laba bersih dan modalnya tumbuh.

4. Biasanya merupakan pemimpin di sektornya masing-masing. Penulis katakan ‘biasanya’ karena memang tidak selalu demikian. Sementara definisi ‘pemimpin’ disini bisa bermacam-macam, tapi untuk lebih mudahnya bisa kita persempit menjadi market leader di sektornya. Misalnya Unilever Indonesia (UNVR) bisa kita pertimbangkan sebagai bluchip, karena produk-produknya seperti sabun, shampoo, dll, rata-rata merupakan pemimpin (barangnya paling laris dibeli konsumen) di kelompok pasarnya masing-masing.

5. Sahamnya likuid. Penjelasan soal likuiditas saham bisa dilihat disini.

Nah, dari kriteria-kriteria diatas, maka berikut adalah beberapa saham yang bisa dikategorikan sebagai bluchip, dalam hal ini bluchip berfundamental bagus, berdasarkan kinerja terakhir mereka di Kuartal III 2011 lalu. Agar fokus, penulis hanya memasukkan beberapa saham saja disini.

1. Astra International (ASII)
2. Indo Tambangraya Megah (ITMG)
3. Charoen Pokphand Indonesia (CPIN)
4. Kalbe Farma (KLBF)
5. Bank BRI (BBRI)
6. Bank Mandiri (BMRI)
7. Astra Agro Lestari (AALI)
8. Unilever Indonesia (UNVR)

Dari sekian banyak saham-saham bluchip di market, boleh dikatakan bahwa ke-delapan saham diatas-lah yang bisa disebut sebagai the real blue chips. They’re good stocks which represents good companies. Pertanyaannya kemudian, jika saham-saham diatas bisa kita anggap sebagai saham bluchip karena kinerja mereka di Kuartal III lalu memang bagus, lalu bagaimana dengan kinerja mereka di Kuartal IV 2011 nanti? Maka jawabannya, belum tentu kinerja mereka akan sama baiknya dibanding periode sebelumnya.

Karena itulah, penulis kemudian memiliki ide untuk membuat semacam ‘kotak’, dimana kotak ini akan berisi saham-saham real blue chips tadi. Kotak ini memiliki kapasitas 20 saham, yang itu berarti dari sekitar 400-an saham di BEI, hanya dua puluh saham saja yang boleh kita sebut sebagai bluchip ori. Isi kotak ini akan diperbaharui setiap kuartalnya, yaitu setiap kali para emiten merilis LK terbaru, dimana saham yang ternyata tidak bisa mempertahankan kinerja bagusnya (dan juga kriteria-kriteria lainnya sebagai saham bluchip), akan didepak dan digantikan oleh saham lain.

‘Kotak’ ini kita sebut saja BC20, yang berarti Bluchip Twenty. Saham-saham yang akan dimasukkan ke dalam BC20 ini akan diseleksi berdasarkan kelima kriteria diatas, dan diharapkan nantinya bisa membantu anda untuk memilih saham-saham terutama untuk tujuan trading (karena kalau untuk tujuan invest jangka panjang, saham yang bagus untuk invest jangka panjang adalah yang prospek pertumbuhannya masih terbuka lebar, dan itu tidak termasuk dalam kriteria saham bluchip). Penulis berencana merilis daftar BC20 untuk pertama kalinya pada April 2012 mendatang, berdasarkan kinerja emiten pada periode Kuartal IV 2011 yang akan terbit nanti. Selanjutnya, daftar ini akan di-update setiap tiga bulan sekali. Daftar ini akan dipublikasikan secara terbuka di blog ini, sehingga bisa anda melihatnya secara gratis. Daftar ini akan dirilis setelah Ebook 40 edisi terbaru terbit.

Terus pertanyaannya, kalau memang kedelapan saham yang disebutkan diatas itu bagus, apakah sekarang saya boleh membelinya? Ohohoho, bukan begitu. Sebab sebuah saham baru bisa dibeli kalau harganya memang ideal untuk dibeli (harganya wajar atau murah). Sementara namanya saham bagus, maka biasanya harganya pun selangit, apalagi kalau IHSG sedang tinggi-tingginya. Dan kalau sebuah saham harganya sudah kemahalan, maka tentu saja peluangnya untuk menguat lebih lanjut menjadi sangat terbatas, tak peduli meski fundamentalya bagus. Alhasil kalau anda hendak memilih saham bluchip yang bagus untuk dibeli, maka selain kelima kriteria diatas, anda harus memasukkan satu kriteria lagi, yaitu: Sahamnya masih atau sedang murah.

Seperti yang sudah disebut diatas, saham bagus apalagi termasuk kategori bluchip, biasanya harganya selangit. Tapi untungnya, setiap beberapa waktu tertentu aadaaa aja saham-saham bluchip yang harganya turun, bisa karena adanya sentimen negatif tertentu, atau memang karena entah kenapa merosot dengan sendirinya. Nah, pada saat itulah baru anda bisa masuk. Sebab asalkan fundamentalnya bagus, maka penurunan sebuah saham akan berhenti jika harganya sudah cukup murah, sehingga selanjutnya dia akan rebound kembali. Disinilah terdapat peluang bagi anda untuk memperoleh gain, plus bonus risikonya yang rendah, karena kita tahu bahwa barangnya memang bagus.

Kalau dari kedelapan saham diatas, terdapat dua diantaranya yang kemarin sempat turun, sehingga ketika itu sahamnya layak direkomendasikan. Dua saham itu adalah CPIN (kemarin turun ke 2,100, sekarang 2,800), dan ITMG (kemarin turun ke 36,700, sekarang 40,800). Sementara kalau buat sekarang ini, anda mungkin bisa mencermati saham dengan ciri-ciri berikut.. 1. Saham tersebut adalah saham perbankan, dan 2. Kemarin dia baru berdamai dengan BCA soal kebijakan transfer ATM Bersama.

Disclaimer is ON ya gan!

AYO MENGENAL BISNIS BATU BARA








Mengenal Sektor Batubara

Sektor batubara selalu menarik untuk dicermati, karena barang tambang ini memenuhi tiga kriteria utama sebagai kebutuhan pokok masyarakat yaitu: harganya murah (US$ 120 per ton atau sekitar seribu perak sekilo), bisa diproduksi secara massal (hingga jutaan ton per tahun), dan dibutuhkan oleh orang banyak secara terus menerus (buat bahan bakar pembangkit listrik, dan semua orang tentu butuh listrik). Alhasil, biasanya perusahaan batubara di BEI memiliki kinerja yang cukup baik.
Kita tahu bahwa jika dibandingkan saham-saham di sektor lain, saham-saham di sektor batubara cenderung mahal secara valuasi. Rata-rata PER mereka bisa diatas 13 atau bahkan 18 kali. Apakah itu karena fundamental mereka bagus? Mungkin bukan, karena kalau itu alasannya, seharusnya valuasi saham-saham di sektor perkebunan sawit juga tidak kalah mahalnya. Mungkin, saham-saham di sektor batubara dihargai cukup mahal oleh investor, karena mereka mencantumkan berapa banyak batubara yang ‘mereka miliki’ di laporan keuangannya. Batubara tersebut sejatinya belum diproduksi, tapi barangnya memang sudah ada.

Penjelasannya begini: batubara adalah komoditas tambang yang terletak di dalam tanah, sehingga kalau dari atas tanah nggak akan kelihatan barangnya (ya iyalah). Jika sebuah perusahaan berniat untuk menggali batubara di suatu lokasi, maka yang harus dikerjakan pertama kali adalah eksplorasi atau penelitian, yang akan menghasilkan informasi mengenai apakah di lokasi tersebut memang terdapat batubara, atau tidak? Jika memang terdapat, berapa banyak jumlahnya? Gak mungkin sebuah perusahaan tiba-tiba saja menggali batubara, kalau mereka belum yakin benar apakah di tanah yang mereka gali tersebut terdapat batubara atau nggak. Lalu gimana cara menelitinya? Well, perusahaan biasanya menyewa konsultan tambang independen, yang memiliki teknologi untuk mengetahui secara akurat, seberapa banyak batubara yang terdapat dalam satu lokasi tambang.

Karena itulah, perusahaan batubara biasanya mencantumkan berapa banyak cadangan batubara yang masih belum digali di laporan keuangan mereka. Misalnya, PT A memiliki cadangan batubara 100 juta ton. Meskipun PT A ini katakanlah hanya bisa menggali 5 juta ton batubara per tahun dari cadangannya tersebut (kapasitas produksinya 5 juta ton per tahun), namun tetap saja terdapat kesan bahwa saham PT A ini layak dihargai pada harga yang berdasarkan cadangan batubaranya yang sebanyak 100 ton tadi. Alhasil, saham-saham batubara biasanya cukup mahal, karena termasuk mempertimbangkan jumlah batubara yang bisa diproduksi perusahaan di masa depan.

Nah, pada artikel kali ini, anda akan mengetahui urutan ukuran perusahaan batubara di BEI, dilihat dari posisi terakhir dari total cadangan batubara mereka, yaitu per tanggal 30 Juni 2011, kecuali disebutkan lain. Here we go (klik untuk memperbesar):


Catatan 1: Delta Dunia Makmur (DOID), Darma Henwa (DEWA), dan Indika Energy (INDY) merupakan perusahaan kontraktor tambang batubara, bukan perusahaan batubara, sehingga mereka nggak memiliki cadangan batubara. Namun Kideco Jaya Agung, perusahaan batubara yang 46% sahamnya dipegang INDY, memiliki cadangan batubara sekitar 1 milyar ton. Sementara Resource Alam Indonesia (KKGI), ATPK Resources (ATPK), Perdana Karya Perkasa (PKPK), dan United Tractors (UNTR), tidak menyebutkan posisi cadangan batubaranya, yang mungkin disebabkan karena bisnis mereka tersebar dimana-mana, alias gak cuma terletak di usaha tambang batubara doang.

Catatan 2: Data diatas hanya untuk cadangan terbukti (proven), dan tidak termasuk cadangan terduga (probable). Cadangan terbukti maksudnya cadangannya memang terbukti ada, sementara cadangan terduga barangnya bisa ada, bisa juga nggak. Kalau cadangan terduga ini ikut dihitung, maka angkanya akan lebih besar. Contohnya, kalau cadangan batubara yang terbukti dan terduga milik ADRO dijumlahkan, maka hasilnya bisa lebih dari 1 milyar ton. Cadangan terduga ini sewaktu-waktu bisa 'naik kelas' menjadi cadangan terbukti, sehingga data diatas juga bisa berubah setiap saat.

Okay, dari list diatas, maka siapakah perusahaan batubara terbesar di tanah air? Bumi Resources (BUMI), tentu saja. Posisi kedua? Adaro? Ternyata bukan, melainkan Bukit Asam (PTBA). Dalam beberapa tahun terakhir, PTBA memang berhasil menemukan beberapa lokasi tambang baru yang sudah siap gali, sementara ADRO sepertinya masih nyari-nyari. Posisi dibawah ADRO ditempati Dian Swastatika Sentosa (DSSA), anak usaha Grup Sinarmas, disusul kemudian oleh Berau, Bayan, dan Indo Tambangraya. Dua pendatang baru di BEI, Harum Energy (HRUM) dan Borneo Lumbung Energi & Metal (BORN), ternyata merupakan perusahaan yang kecil kalau dilihat dari kepemilikan cadangan batubara mereka, yang nggak nyampe 100 juta ton.

Jika sebuah perusahaan batubara memiliki cadangan batubara yang segunung, apakah itu berarti perusahaan tersebut akan untung besar di masa depan? Belum tentu. Selain jumlah cadangan batubara yang dimiliki oleh sebuah perusahaan batubara, terdapat beberapa hal lain yang juga bisa mempengaruhi pendapatan dan laba dari perusahaan tersebut.

Pertama, batubara itu kan letaknya di dalam tanah, sehingga harus digali. Pertanyaannya, seberapa dalam letak batubara tersebut? Jika cukup dekat dengan permukaan tanah, katakanlah perusahaan cuma perlu menggali 5 meter kebawah terus langsung ketemu batubaranya, maka biaya produksinya akan murah. Tapi gimana kalau jaraknya sampai 50 meter, atau lebih? Maka biayanya tentu akan mahal, karena jumlah tanah yang harus digali akan sangat banyak. Dalam istilah operasional batubara, jumlah tanah yang harus digali agar batubara yang terletak dibawahnya bisa diambil, disebut dengan overburden. Perbandingan antara jumlah batubara dengan jumlah tanah atau batu-batuan yang harus digali disebut dengan stripping ratio. Katakanlah sebuah perusahaan batubara mencatat stripping ratio 1 : 3, maka itu berarti untuk memperoleh 1 ton batubara, perusahaan harus menggali 3 ton tanah.

Semakin besar angka stripping ratio, maka tentunya semakin mahal biaya produksinya. Dari sinilah maka sebuah perusahaan batubara harus berhati-hati: apakah ongkos yang harus dikeluarkan untuk menggali sekian juta ton tanah cukup sepadan dengan nilai batubara yang terdapat dibawahnya? Jika tidak, maka perusahaan akan merugi. Tapi biasanya semakin dalam posisi batubara yang akan digali, maka semakin bagus batubaranya, sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk stripping ratio yang tinggi biasanya sepadan dengan kualitas batubara yang diperoleh (penjelasannya di bawah).

Kedua, seberapa bagus kualitas batubaranya? Kualitas batubara ditentukan dari kalorinya, dimana semakin tinggi kalori, maka semakin bagus batubara tersebut (karena energi panas yang dihasilkan lebih besar), dan harganya tentu semakin mahal. Tinggi rendahnya kalori ini biasanya ditentukan oleh umur dari batubaranya, dimana semakin tua umurnya, dan semakin dalam posisinya di dalam tanah, maka semakin panas batubaranya (karena lebih dekat dengan pusat bumi). Dalam hal ini, BORN memiliki keunggulan dibanding perusahaan batubara lain, karena mereka memiliki jenis batubara dengan kalori yang lebih tinggi dibanding batubara milik perusahaan lain.

Ketiga, seberapa kering batubaranya? Agar siap digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik atau untuk keperluan lainnya, maka batubara harus dikeringkan dulu. Jika batubara hasil galian masih mengandung banyak air, maka perusahaan akan memerlukan banyak waktu dan biaya untuk mengeringkannya terlebih dahulu. That’s why kinerja perusahaan batubara di musim hujan biasanya nggak sebagus di musim kemarau.

Keempat, berapa jarak lokasi tambang dengan pelabuhan, atau pembangkit listrik terdekat? Semakin jauh jaraknya, katakanlah jika tambangnya terletak di tengah-tengah hutan Kalimantan, maka ongkos transportasinya tentu akan menjadi mahal, dan itu akan mengurangi laba perusahaan. Kelima, berapa biaya royalti yang harus dibayarkan kepada Pemerintah? Dan Keenam, berapa biaya penyimpanan untuk persediaan batubara yang sudah digali dan sudah dikeringkan, tapi belum terjual?

Intinya, ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam menentukan apakah sebuah perusahaan batubara memiliki prospek yang bagus atau tidak kedepannya, gak cuma dari sisi cadangan batubaranya. Itu baru dari sisi operasional, belum lagi dari sisi finansial. Sayangnya dari sekian banyak perusahaan batubara di BEI, hanya Adaro Energy yang secara rutin menyampaikan laporan lengkap mengenai kegiatan operasional mereka. Mungkin BEI sebagai otoritas bursa perlu mewajibkan para perusahaan batubara lainnya untuk merilis laporan operasional mereka, agar investor menjadi memiliki gambaran yang lengkap mengenai kinerja para perusahaan di sektor yang menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara ini.

Sayangnya lagi, mayoritas saham-saham di sektor batubara tidak cocok untuk investasi long term, karena seperti yang sudah disebut diatas, selain valuasinya rata-rata cukup mahal, likuiditas sahamnya pun nggak bagus. DSSA dan BYAN contohnya, sahamnya cuma digoreng-goreng sama pemiliknya sendiri. BUMI? Sama aja. Alhasil, perusahaan batubara biasanya cuma membuat kaya pemilik mayoritasnya saja. Setiap kali Forbes merilis daftar orang terkaya di Indonesia, hampir pasti daftar tersebut memuat nama-nama para juragan batubara Indonesia seperti Garibaldi Thohir (ADRO), Bakrie (BUMI), Kiki Barki (HRUM), atau Low Tuck Kwong (BYAN).

Semua konglomerat selalu tertarik untuk masuk ke bisnis batubara karena prospeknya yang hampir selalu cerah. Namun tidak semudah itu untuk bisa masuk ke bisnis ‘batu panas’ ini. Seorang teman pernah berkata begini kepada penulis, ‘Kalau ente mau beli BUMI (maksudnya mengambil alih perusahaannya, bukan sekedar beli sahamnya), maka duit gak akan jadi masalah. Bank-bank pasti akan dengan senang hati ngasih ente pinjaman. Tapi masalahnya, bisa nggak ente memaksa Grup Bakrie melepas BUMI ke ente? Sebab untuk bisa ngelakuin itu (memaksa Bakrie menjual BUMI), maka ente harus jago berpolitik. Minimal kenal sama Presiden lah.’

Waduh, saya ini cuma rakyat kecil Pak! Jangankan Presiden, Nazaruddin aja saya nggak kenal!